Bisa jadi, ibadah haji yang selama ini jadi kewajiban umat Muslim; pada kondisi di atas langsung bisa berubah jadi perbuatan haram hukumnya. Sebab, ibadah suci tersebut justru merugikan bagi banyak orang. Juga merupakan bentuk pemborosan biaya. Biaya haji yang kuantitasnya puluhan juta rupiah itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menolong si miskin yang sedang sakit. Atau bisa disumbangkan ke panti asuhan. Akan lebih indah lagi, bisa seseorang membatalkan keberangkatan hajinya dan langsung mengalihkan biaya hajinya untuk menolong korban bencana banjir.
Sejatinya ibadah haji, merupakan puncak ibadah bagi umat Muslim. Adalah kearifan Tuhan, mengapa haji diletakkan menjadi Rukun Islam yang kelima. Bukan jadi Rukun Islam pertama, kedua, ketiga atau keempat. Sebab, kalkulasi perhitungan Tuhan adalah, manusia yang pantas meraih gelar haji; bukanlah orang berduit saja. Hingga dengan uangnya tersebut, ia bisa pergi ke Mekah setiap tahun. Atau orang saleh yang memiliki banyak uang pula, hingga ia bisa menunaikan ibadah haji sambil berbisnis dan kepentingan lain. Melainkan, ibadah haji merupakan bentuk ritual kesalehan sosial yang lebih mengutamakan kepentingan umum jauh di atas tendensi egoisme seseorang. Apabila ada orang saleh dan kebetulan ia miskin; namun kerap menyedekahkan harta mereka untuk kepentingan banyak orang; hingga ia sampai mati tak kuasa pergi berhaji; hemat penulis?ia sudah meraih gelar haji.Pun orang kaya yang saleh; namun ia tidak pergi berhaji?karena biayanya terus menerus tersedot digunakan untuk membantu fakir miskin; sampai maut menjemputnya ia tak memiliki kesempatan berhaji ke Mekah; maka ia pun pantas bergelar haji.
Sebaliknya, meskipun ada banyak orang saleh dan kaya pula bisa berkali-kali pergi haji ke Arab Saudi; namun ia mengabaikan nasib orang-orang miskin, kaum fakir miskin di sekitar tempat tinggal mereka; tak pantas gelar haji tersandang pada pundak mereka. Jadi yang lebih diutamakan sebelum menunaikan ibadah haji adalah pemenuhan kebutuhan sosial orang-orang di sekitar terlebih dahulu. Keegoistisan pribadi menunaikan ibadah haji, hanya agar mengharap kejaran pahala; ternyata ia mengabaikan kehidupan keluarga dan masyarakat sekitar; hanyalah bisikan nafsu angkara yang terkamuflase dalam bingkai kesalehan relijius.
Memang di negeri ini, simbol-simbol agama yang sakral semakin kehilangan pengaruh dan esensinya karena terlalu sering dipakai untuk bersandiwara dan mengelabui. Agama diejek dan dilecehkan. Elit politik dan pejabat sudah terbiasa “mempermainkan” agama dan Tuhan.
Syahdan, ada seorang Muslim yang taat menjalankan ibadah. Dia rajin menjalankan shalat, puasa, dan zakat. Setelah shalat, dia juga menyempatkan diri untuk berzikir dan berdoa. Dia telah menunaikan ibadah haji beberapa kali. Dia juga fasih membaca ayat-ayat Al-Quran serta mengetahui artinya. Tetapi, entah mengapa, dia juga “rajin” melakukan korupsi.
Apa yang bisa kita jelaskan dari fenomena seperti itu? Tampaknya, ibadah yang dilakukan seorang Muslim tersebut tidak punya implikasi nyata bagi moralitas dan tindakan sosialnya. Ibadah yang dilakukannya hanya merupakan simbol dan formalitas kosong. Ibadah sebagai salah satu sarana untuk “berkomunikasi” dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sudah seharusnya punya implikasi moral dan sosial.
Seseorang yang rajin beribadah, seharusnya moralitas dan jiwanya semakin baik dan bersih. Misalnya, dia tidak serakah (korup), iri, dengki, dendam, kikir, egois, sombong, ambisius, pemarah, zalim, dan sifat-sifat tercela lainnya. Seseorang yang rajin beribadah, seyogyanya juga semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang nyata dan mendesak. Misalnya, kemiskinan, penindasan, kekerasan, korupsi, otoriterisme, feodalisme, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, narkoba, pornografi, kezaliman (kekuasaan), kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan perdagangan orang (trafiking) dan ketimpangan sosial-politik lainnya.
Kiprah umat Islam atau umat beragama secara keseluruhan, terutama diuji dari responnya terhadap persoalan sosial yang nyata, bukan sekadar pada ibadah ritual yang dilakukannya yang acapkali hanya merupakan simbol-simbol kosong yang tidak mampu menggerakkan transformasi sosial. Ibadah yang tidak nyambung dengan realitas sosial yang nyata hanya merupakan aktifitas yang kosong dan tanpa makna. Beberapa orang beragama -khususnya Islam- bahkan kadang menggunakan simbol-simbol ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain, untuk menghaluskan, menyamarkan, dan menutupi keburukan dan kejahatan yang dilakukannya.
Untuk menutupi tindak korupsi, penebangan kayu atau hutan secara ilegal (illegal logging), perusakan lingkungan, judi, memproduksi dan menjual narkoba, kekerasan terhadap kaum bawah, otoriterisme, dan tindak kejahatan lainnya, seseorang berusaha rajin melakukan shalat, misalnya. Contoh lain, untuk menutupi dan menyamarkan kezaliman politik dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukannya, seseorang secara sadar berusaha melakukan ibadah haji.
Shalat dan haji kadang digunakan oleh seseorang untuk menutupi perilaku buruk, jahat, dan tidak terpuji. Hal seperti ini merupakan fenomena yang biasa terjadi di negeri ini. Sehabis korupsi, seseorang menunaikan ibadah haji dan menggelar zikir akbar. Di negeri ini, banyak pejabat yang pergi haji dengan uang yang ‘korupsi’. Di negeri ini, banyak pejabat, elit politik, pengusaha, artis, selebriti, dan tokoh lainnya, yang berusaha menghilangkan citra buruk dan busuknya dengan cara menunaikan ibadah haji atau umroh.
Secara sadar, banyak orang menggunakan simbol-simbol agama semisal shalat, zikir, dan haji, untuk membersihkan citra dirinya agar memperoleh kesan “baik” dari khalayak luas. Karena memperalat “ibadah” dan simbol-simbol agama, maka secara diam-diam mereka tetap melakukan hal-hal yang buruk, jahat, dan tercela.
Ketidaknyambungan bahkan ambivalensi antara ibadah dan perilaku seseorang mungkin bisa juga dijelaskan dengan fenomena psikolgis yang disebut pribadi terbelah (split personality). Potensi “pribadi terbelah” ini pada dasarnya ada pada diri setiap orang. Indikasi pribadi terbelah ini, antara lain, tampak dalam fenomena ketidaknyambungan dan ketidakkonsistenan antara apa yang diikrarkan dan diomongkan seseorang dengan apa yang dilakukannya.
Bisa di lihat, bagaimana tingkah polah para elit negeri ini, banyak orang yang secara gagah berani bersumpah dengan nama Tuhan atau di bawah Kitab Suci, tetapi suatu ketika dia akan melanggar sumpahnya secara enteng dan tanpa beban. Di negeri ini, simbol-simbol agama yang sakral semakin kehilangan pengaruh dan esensinya karena terlalu sering dipakai untuk bersandiwara dan mengelabui. Agama diejek dan dilecehkan. Elit politik dan pejabat sudah terbiasa “mempermainkan” agama dan Tuhan.
Filed under: Agama, Artikel Pendidikan, Education, islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar